Ketidakstabilan iklim telah menjadi topik perbincangan organisasi internasional sejak tahun 1979. Negara-negara berkumpul pada Konfrensi Perubhan Iklim Dunia di Jenewa untuk mendalami tentang isu strategis terkait mitigasi pemanasan global. Keseriusan terhadap isu tersebut ditindakanjuti dengan pembentukan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Salah satu permasalahan lingkungan hidup yang memberikan dampak signifikan dalam kehidupan adalah fenomena perubahan iklam. Perubahan iklim bersifat global dan jangka panjang. Perubahan iklim akan berdampak besar terhadap sistem sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, serta terhadap keamanan kehidupan manusia yang meliputi air, pangan, dan kesehatan.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim yang merupakan permasalahan lingkungan hidup mempunya pengaruh yang besar terhadap konsep-konsep dalam Hukum Internasional. Sehingga dalam hal tersebut, Hukum Internasional memiliki peran dalam mengatasi perubahan iklim.
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) bekomitmen dalam rangka menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim. Konvensi ini adalah bentuk keseriusan masyarakat internasional dalam penentuan tujuan bersama dan rencana strategis mitigasi perubahan iklim. Negara-negara pihak menyepakati untuk stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca antopogenik sebagai sumber utama perubahan iklim dan menghindari gangguan sistem iklim dengan mengendalikan penyebab utama emisi metana, asam nitrat, dan khususnya emisi karbon dioksida.
UNFCCC telah mengikat secara hukum sejak tanggal 21 maret 1994. Berdasarkan konvensi tersebut, negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
- Negara-negara Annex I
- Negara-negara non Annex I
Negara Annex I merupakan negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Sedangkan negara Non-Annex I adalah negara yang tidak termasuk dalam Annex I atau yang kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca jauh lebih rendah dan pertumbuhan ekonominya jauh lebih rendah. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi UNFCCC melalui UU 6/1994 dan merupakan bagian dari negara Non-Annex I. Oleh karena itu, Indonesia secara resmi terikat dengan kewaiiban yang tertuang dalam UNFCCC dalam upaya mencapai tujuan tersebut.
Dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut, UNFCCC membentuk Konfrensi Para Pihak (COP) yang diatur dalam Pasal 7 UNFCCC. Fungsi COP adalah meninjau pelaksanaan konvensi, memantau pelaksanaan kewajiban negara pihak sesuai dengan tujuan konvensi, mendorong dan memfasilitasi pertukaran informasi, membuat rekomendasi kepada negara pihak dan membentuk lembaga pendukung.
Protokol Kyoto 1997.
Protokol Kyoto merupakan hukum internasional yang mempunyai keterkatian dengan UNFCCC. Protokol ini menjadi dasar negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam rangka melaksanakan tujuan UNFCCC, COP pada pertemuan tahun 1997, di Kyoto Jepang menghasilkan konsesus berupa keputusan untuk mengadopsi protokol Kyoto. Dalam hal ini, Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU 17/2004.
Protokol Kyoto mengatur beberapa hal, seperti mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilkasanakan oleh negara-negara maju, yaitu:
- Implementasi bersama
- Perdagangan Emisi
- Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)
Perjanjian Kankun
Konfrensi COP yang diselenggarakan di Kankun, meksiko, pada tahun 2010 menghasilkan Perjanjian Kankun yang memuat aturan-atura mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan internasional dan domestik. Perjanjian ini bertujuan untuk membantu negara berkembang dalam melindungi diri mereka dari dampak perubahan iklim sekaligus mengupayakan pembangunan berkelanjutan.
Amandemen Doha
Pada tahun 2012, setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008–2012) berakhir, negara-negara pihak bertemu di Doha, Qatar untuk mengadopsi amandemen Protokol Kyoto. Amandemen Doha terhadap Protokol Kyoto (“Amandemen Doha”) menghasilkan peraturan baru mengenai pengurangan emisi untuk periode komitmen kedua bagi negara pihakPada tahun 2021, setelah periode komitmen pertama.
Perjanjian Paris
Perjanjian paris merupakan pengganti Protokol Kyoto, Pada tahun 2015, negara-negara anggota UNFCCC mengadopsi perjanjian tersebut sebagai bagian dari upaya yang terkoordinasi secara internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Berbeda dengan protokol Kyoto. Perjanjian paris tidak menetapkan pengurangan emisi, namun merumuskan tujuan perubahan iklim secara keseluruhan dan menetapkan kebebesan negara pihak mengenai bagaimana dan seberapa besar kontribusi negara untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini tentu saja mempertimbangkan kondisi nasional yang beda-beda di setiap negara.
Pada tanggal 22 April 2016, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris di New York. Sebagai negara yang meratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya pengurangan Emisi gas rumah kaca dan mengambil langkah aktif untuk mencegah perubahan iklim. Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan UU 16/2016. Pemerintah juga memiliki sembilan tindakan prioritas pemabngunan nasional dituangkan dalam Nawa Cita sebagai komitmen nasional menuju pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim. Dalam agenda pembangunan nasional, adaptasi, dan mitigasi perubahan menjadi prioritas.
Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim telah menjadi salah satu permasalahan utama dalam Hukum Internasional dan mempunyai dampak yang sangat besar kepada seluruh dunia. Perubahan iklim telah menjadi bahan perbincangan semenjak tahun 1979, yang bukan saja didiskusikan melainkan juga mengadakan konfrensi dan berhasil mencapai keputusan dan kesepakatan jangka panjang sebagai bentuk kerja sama secara internasional.
[…] Baca Juga : Peran Hukum Internasional dalam Climate Change […]